39Beberapa bencana alam yang disebabkan oleh faktor alam dan ulah manusia misalnya bencana banjir. Banjir dapat terjadi karena. a. penambangan minyak bumi b. penambangan batu bara c. penggalian tanah d. penebangan hutan secara besar besaran 40.Sekarang ini sering terjadi bencana alam. Seperti banjir, tanah longsor, erosi.
Haiyuan yang terletak di Republik Cina, mengalami bencana gempa bumi pada tahun 1920 yang menghancurkan kota dengan guncangan sekitar 7,8 skala ritcher dengan angka kematian 273.400 orang. Namun, laporan lainnya menyebut besar
Maritim– Jakarta, Guna mengantisipasi dan meminimalisasi resiko dan dampak bencana alam yang sering melanda Indonesia, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dalam waktu dekat ini, berencana akan memperkenalkan program Kabupaten Tangguh Bencana (KTB).Nantinya, dalam KTB akan mencakup berbagai elemen, di antaranya dari segi
Vay Tiền Nhanh. Umumnya gempa disebabkan pergeseran lempeng bumi atau gempa tektonik. Ada juga gempa vulkanik yang disebabkan erupsi gunung berapi. Namun saat ilmu pengetahuan belum berkembang pesat, mitologi punya cerita-cerita unik tentang asal-usul gempa. Poseidon, dewa laut di mitologi Yunani juga dikenal dengan nama Sang Pengguncang Bumi. Pasalnya, dia kerap menimbulkan gempa bumi dan tsunami dahsyat dengan hantaman trisula miliknya. Biasanya bencana alam ini terjadi saat dia lagi bad mood. ©Pixabay/intographics
- Menjelang tengah malam tanggal 22 November 1815, gempa bumi besar mengguncang Bali hingga Nusa Tenggara. Pulau bergetar hebat. Terdengar suara menggelegar bak halilintar. Tanah-tanah longsor, gunung-gunung retak, bukit-bukit runtuh. Singaraja, pusat pemerintahan Kerajaan Buleleng yang terletak di pesisir Bali utara, terkubur remah-remah pegunungan yang ambruk. Tak lama berselang, gelombang ombak raksasa datang menerjang. Besaran gempa rupanya telah memicu tsunami. Desa-desa turut tersapu hingga ke laut. Lebih dari orang kehilangan nyawa, belum termasuk yang hilang terbawa air bah. Tidak sedikit pejabat penting Kerajaan Buleleng yang turut menjadi korban. Beruntung, sang raja, I Gusti Anglurah Gde Karang, terhindar dari memilukan itu termaktub dalam Babad Buleleng dan Babad Ratu Panji Sakti. Dua catatan kerajaan yang kerap digunakan untuk sandaran awal pengungkapan sejarah Bali ini mencatat dengan cukup rinci terjadinya musibah tanah longsor dan tsunami sebagai dampak susulan gempa memang akrab dengan bencana sejak dahulu kala, dan dibalas alam dengan anugerah yang melimpah-ruah. Dari ujung barat di Aceh, ke tengah di Jawa, Bali, juga jajaran Kepulauan Nusa Tenggara, hingga ke kawasan timur yang meliputi Sulawesi, Maluku, sampai Papua, pernah lokal masyarakat di berbagai wilayah Nusantara telah mengabadikan memori gempa bumi dan tsunami dari masa ke masa itu, yang terbalut dalam babad, naskah, syair, cerita rakyat, hingga kidung atau rupa hikayat lainnya. Menerjemahkan Geliat Alam Tradisi lokal masyarakat Bali mengenal mitologi Bedawangnala dalam menyikapi gejala alam, termasuk terjadinya gempa dan tsunami. Bedawangnala dimitoskan dalam wujud kura-kura raksasa yang bersemayam di dasar bumi dan menjadi perlambang dari magma di bawah gunung dalam mitos masyarakat lokal Bali, diikat oleh dua ekor naga bernama Anantabhoga dan Basuki. Anantabhoga melambangkan tanah, sedangkan Basuki merupakan simbol air. Disebutkan Zamidra dalam Makhluk Mitologi Sedunia 2012, jika Bedawangnala menggeliat dan memicu erupsi gunung berapi, Anantabhoga juga ikut bergerak hlm. 44. Inilah yang dipercaya menyebabkan gempa pergerakan Bedawangnala semakin aktif, giliran Basuki yang terusik dan turut bergerak pula. Maka, terjadilah gelombang air dari laut atau yang kemudian dikenal sebagai lokal Nusantara zaman dahulu memang memaknai alam secara simbolis. Gejala alam tidak jarang diterjemahkan sebagai penanda sesuatu, baik positif maupun negatif. Tak hanya berupa mitos, kepercayaan, atau bahkan dongeng, pemaknaan fenomena alam tidak jarang juga diabadikan dalam wujud babad, naskah kuno, syair, kidung, atau lainnya. Kendati begitu, tidak sepenuhnya bentuk kearifan lokal seperti itu dapat dipertanggungjawabkan perkara gempa bumi dan tsunami di Bali pada 1815, misalnya, terdapat perbedaan data yang tercatat dalam Babad Buleleng atau Babad Ratu Panji Sakti dengan hasil riset akademis. Dua babad itu menyebutkan lebih dari 10 ribu orang tewas akibat tragedi tersebut. Namun, laporan Sergei Leonidovich Soloviev dan Cham Nham Go bertajuk "Catalogue of Tsunami on the Western Shore of the Pasific Ocean" 1984 mengungkapkan korban jiwa tsunami berjumlah lokal terkadang juga digunakan sebagai legitimasi kekuasaan pada zaman raja-raja dulu. Sebagai contoh, gempa bumi pada 1256 Saka atau 1334 Masehi di Jawa Timur. Serat Pararaton mencatat, dikutip dari Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya 1979 karya Slamet Muljana, alam berguncang sesaat sebelum lahirnya Hayam Wuruk hlm. 133.Pararaton memaknai gempa bumi itu sebagai penanda perubahan, bahwa akan lahir seorang calon raja besar. Dan memang, Hayam Wuruk—bersama Mahapatih Gajah Mada—nantinya menjadi raja yang berhasil membawa Kerajaan Majapahit merengkuh kejayaan, bahkan sebagai imperium terbesar kala itu. Namun, kitab kuno kerap dijadikan alat legitimasi kekuasaan. Dituliskan Aminuddin Kasdi dalam Serat Pararaton Atawa Katuturanira Ken Arok Kajian Historis sebagai Sastra Sejarah 2008, Pararaton berfungsi untuk memberikan pengukuhan terhadap Dinasti Rajasa atau keturunan Ken Arok, termasuk Hayam Wuruk hlm. 30.Politisasi gejala alam yang tertulis dalam naskah lama juga pernah digunakan sebagai legitimasi oleh Kerajaan Pajajaran di Jawa Barat melalui Babad Galuh. Penobatan Prabu Siliwangi pada 1482 dibarengi dengan terjadinya gempa bumi yang diklaim sebagai sambutan alam bahwa raja baru yang akan membawa kemajuan telah dijadikan legitimasi, sumber-sumber kuno semacam itu juga sangat diragukan validitasnya. Yakob Sumarjo dan Saini dalam Hermeneutika Sunda Simbol-simbol Babad Pakuan 2004 menyebutkan bahwa penulisan Babad Galuh, misalnya, hanya diperoleh dari bahan-bahan yang berupa mitos hlm. 125. Kearifan Lokal Bisa Rasional Cukup banyak gempa bumi atau tsunami di Nusantara pada masa silam yang tercatat dalam hikayat. Ada beberapa kearifan lokal yang justru memberikan panduan dengan lebih rasional terkait terjadinya bencana alam, termasuk gempa bumi atau Pangissengeng salah satunya. Naskah kuno dalam tradisi masyarakat Bugis ini membahas beberapa hal terkait gempa bumi yang sering melanda wilayah Sulawesi pada masa pesan positif yang terkandung dalam catatan lama itu tentang gempa. Gempa bumi, seperti dikutip dari buku Lontarak Pangissengeng Daerah Sulawesi Selatan 1991 karya Ahmad Yunus, terjadi karena tingkah laku manusia. Orang-orang besar para pemimpin bertikai, demikian pula orang banyak atau masyarakat luas hlm. 81.Di Palu, Sulawesi Tengah, yang baru saja diterpa gempa bumi diikuti tsunami dengan menelan korban ribuan jiwa, juga terdapat kearifan lokal yang rasional. Menurut Dody Hidayat dan kawan-kawan dalam Gempa Kumpulan Artikel Ilmu & Teknologi Majalah Tempo 2013, wilayah ini memang menjadi kawasan rawan gempa sejak dulu karena terletak di atas tumbukan tiga lempeng bumi. Ada satu desa di Kelurahan Talise, Palu Timur, Sulawesi Tengah, bernama Tanah Runtuh. Nama ini ternyata bukan dongeng belaka. Desa itu pernah benar-benar lebur dihantam gempa bumi dan tsunami pada masa silam, demikian dilaporkan Kompas 4/9/2012 dalam artikel “Hikayat Runtuhnya Tanah Runtuh”.Di Aceh, yang beberapa kali dilanda gempa bumi dan tsunami selama perjalanan panjang riwayatnya, bahkan tercipta kearifan lokal yang sangat bermanfaat melalui hikayat atau syair yang beberapa di antaranya memberikan semacam panduan bilamana terjadi bencana satunya adalah Syair Nandong yang dilafalkan turun-temurun sejak berabad-abad lalu. Syair ini di antaranya berbunyianga linon ne mali jika gempanya kuatuwek suruik sahuli disusul air yang surutmaheya mihawali fano me singa tenggi segeralah cari tempat yang lebih tinggiede smong kahanne itulah tsunami namanya Tercatat dalam sejarah, Aceh cukup sering diguncang gempa besar dan smong dapat diartikan sebagai tsunami meskipun makna sebenarnya lebih dari itu, termasuk pada era pemerintahan Sultan Iskandar Muda tahun 1621, kemudian 1907, 1964, serta 2004 lalu. Dari pengalaman itulah tercipta kearifan lokal berupa syair yang rasional dan berfaedah seperti Syair lagi, hikayat telah meriwayatkan banyak peristiwa gempa bumi maupun tsunami di berbagai wilayah di Nusantara pada masa lalu. Kearifan lokal tentang fenomena alam ini mewujud dalam berbagai rupa dan tujuan, dari mitos, legitimasi, hingga yang rasional dan bermanfaat; sehingga sebaiknya disikapi dengan arif pula. - Sosial Budaya Penulis Iswara N RadityaEditor Ivan Aulia Ahsan
- Bocah ini mengenalkan diri sebagai Acang. Dia enggan dipanggil dengan nama aslinya oleh siapa pun, termasuk oleh kawan-kawannya. Gerak-geriknya lebih dewasa ketimbang teman sebayanya. Dia enggan bermain balon hidrogen meski semua temannya melakukan itu. Dia juga enggan berkelahi dan memilih mundur saat kawannya menantang. Pengalaman hidup yang membuatnya lebih dewasa dari usianya. Acang lahir dari keluarga miskin. Dia rutin membantu bapaknya, seorang petani, mengambil kelapa langsung dari pohon. Dia bahkan tak naik kelas karena mengaku tidak ada cukup waktu untuk belajar. Tahun ini, dia semestinya kelas enam. Rutinitas ini bahkan kembali ia lakukan tak lama setelah gempa besar mengguncang rumahnya di Kecamatan Dolo, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, pada 28 September tahun lalu. Tak ada pilihan lain bagi Acang dan keluarganya, sebab saat itu, bantuan-baik dari pemerintah atau swasta-sangat minim sementara dapur tetap perlu mengebul. Dia mengenakan pakaian sekolah putih lusuh dengan dalaman yang panjang lengannya lebih panjang dari baju sekolah. Celananya kebesaran, dan sepatu yang sudah jebol di sana-sini. Dia tak pakai topi, hilang, katanya. Meski miskin dan pernah tak naik kelas, Acang punya cita-cita setinggi langit. Dia betul-betul ingin berkarier di langit. Menjadi pilot. "Karena bisa antar orang ke mana-mana," akunya kepada saya, Kamis 18/7/2019 kemarin. "Sebetulnya mau jadi tentara juga, tapi saya takut mati."Kami bicara seperti orang dewasa. Saya bertanya, dia jawab, lalu melemparkan pertanyaannya sendiri. "Kalau jadi wartawan ngapain aja? Tanya-tanya orang, ya?""Di Jakarta enak?" "Di Jakarta panas enggak seperti di sini?" Pertanyaan-pertanyaan itu saya jawab dengan senang hati. Lalu satu per satu kawan-kawannya mendekati kami hingga membentuk lingkaran. Saya, yang tadinya lebih banyak bertanya ke Acang, jadi diberondong pertanyaan oleh bocah-bocah SDN 1 Tulo ini. Mereka semua adalah korban Gempa Palu. Siswa kelas 5 SDN 1 Tulo awalnya berjumlah 30, tapi setelah gempa sisa 26. Empat lainnya memutuskan pergi dari desa tersebut, atau memang sudah tak ada. Anak-anak yang bersama saya tak ada yang bilang suatu saat nanti ingin ke ibu kota, tak ada yang mau tinggal di Sigi. Saya bilang jangan karena Jakarta itu tak enak, macet, sumpek, penuh polusi, dan bisa bikin orang gampang jadi pemarah. Tapi mereka tidak peduli. "Di Jakarta itu gampang cari kerja," kata salah satu dari mereka, entah dapat kabar dari mana. Saya awalnya ragu bertanya apa yang mereka alami pada malam jahanam itu. Saya tak mau membuat mereka sedih lagi. Tapi salah satu dari mereka, Andika Pratama, kelas 5 SD, bercerita tanpa ditanya "waktu itu saya lagi mandi. Pas gempa saya keluar rumah, telanjang." Andika juga punya cita-cita. Jadi polisi, katanya, sebab polisi "memberantas kejahatan, termasuk sabu-sabu." Andika bilang di daerahnya orang-orang dewasa gemar nyabu. Dia bahkan pernah melihat transaksi haram itu di bangunan kosong samping kuburan yang terletak di belakang sekolahnya. Bocah-bocah ini berebut bercerita, mencoba menarik perhatian saya dengan suara yang dikencang-kencangkan. Saya tak sempat mencatat banyak. Takjub karena mereka bisa menceritakan itu semua dengan entengnya, seperti bercerita bagaimana rasanya naik wahana di Dufan atau berkisah soal pengalaman hari pertama masuk sekolah. Tak ada beban. Saya mungkin tak bisa melakukan itu jika ada di posisi mereka. "Saya sudah tidak takut. Dulu iya," aku Andika. Dia lalu bercerita bak seorang petugas senior dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana BNPB soal apa yang perlu dilakukan jika suatu saat terjadi gempa lagi. "Berlindung di bawah meja, atau keluar rumah cari lapangan. Yang penting jangan dekat-dekat dinding," katanya, lalu disambut temannya yang lain. "Betul... betul..." Sebagian dari mereka masih tinggal di hunian sementara huntara karena rumah rusak atau hancur sama sekali meski gempa hampir terjadi satu tahun lalu-per Maret lalu, berdasarkan catatan Yayasan Sayangi Tunas Cilik, anak masih tinggal di huntara yang kondisinya tak bisa dibilang baik. Kami berbagi cerita di sebuah lapangan di belakang SDN 1 Tulo, Kecamatan Dolo, Kabupaten Sigi. Di sini 500 anak lain-SD, SMP, dan SMA-tengah mengikuti acara Hari Anak Nasional HAN 2019 dengan tema 'Kita Anak Indonesia, Kita Sehat dan Gembira' yang diselenggarakan Pemerintah Kabupaten Sigi dengan dukungan yayasan sosial Wahana Visi Indonesia WVI dan bank HSBC. Dalam acara ini panitia menggelar beberapa lomba untuk Dwi Septiani, Manajer WVI Sigi, mengatakan salah satu fokus organisasinya saat ini adalah penyembuhan psikologis anak-anak. Meski di luar mereka tampak seperti anak-anak biasa, tapi di dalam mereka sesungguhnya masih rapuh. Penyembuhan dari trauma perlu waktu yang panjang. "Semoga [acara ini] bisa membuat anak-anak gembira," katanya. "Juga kepada orangtua. Acara ini untuk kembali mengingatkan kita bahwa anak-anak adalah masa tumbuh kembang yang perlu didukung," sambung Dwi. Acara ini memang sekilas melepas beban mereka. Yang ada hanya tawa; tak ada sedih. Anak-anak, bersama ibu dan bayi lahir, adalah kelompok yang paling rentan dalam kondisi bencana. Begitu kata Organisasi Kesehatan Dunia WHO. Karena itu WVI juga mendirikan posyandu di beberapa tempat dan melatih orang-orang agar jadi 'kader kesehatan'. Sayangnya tidak semua anak-anak seberuntung atau sekuat Aceng atau Andika, atau anak-anak yang turut serta dalam acara hari anak. Saat saya melintasi bekas jalan aspal yang amblas-kira-kira 5-7 meter-di kawasan Perumnas Balaroa, salah satu lokasi likuifaksi terparah, beberapa bocah menghampiri mobil yang saya tumpangi. Jalanan yang rusak membuat mobil melaju pelan sehingga bisa terus diikuti bocah-bocah tak beralas kaki itu dari samping. Saya tidak dengar apa yang mereka katakan karena pintu mobil tertutup rapat. Tapi dari raut wajahnya, mereka jelas-jelas tengah meminta satu dua lembar rupiah dari saya."Enggak usah dikasih, nanti kebiasaan," kata Pak Sopir yang membawa saya. Anjurannya sama persis seperti yang tercetak pada papan pengumuman yang pernah saya lihat di lampu-lampu merah Jakarta. Saya mengikuti anjurannya, lalu kembali memelototi gawai yang sedari tadi tak saya lepas dari genggaman. Saya sampai ke satu artikel. Di sana tertulis diperkirakan, ada ribuan jasad masih tertimbun di reruntuhan Perumnas Balaroa. Saya langsung bergidik, sebab beberapa menit sebelumnya saya baru saja menginjakkan kaki di reruntuhan pemukiman yang tak lagi diapa-apakan itu. Pemandangan yang sangat sureal karena latar belakang kuburan massal tanpa nisan itu adalah perbukitan hijau, langit biru, dan garis awan putih yang membentuk citra bak di negeri lalu melongok ke belakang, melihat lagi bocah-bocah itu, dan berpikir apa mungkin orangtua mereka juga tertimbun di bawah sana? - Sosial Budaya Reporter Rio ApininoPenulis Rio ApininoEditor Mufti Sholih
cerita rakyat yang berkaitan dengan bencana alam gempa bumi